Friday 18 May 2012

Sepatu Butut



Waktu saya masih SD sepatu itu menjadi barang yang sangat berharga untuk saya miliki. Setiap tahunnya saya mempunyai sepatu itu dari hasil pemberian saudara dari Kota, sepatu bekas. Tapi, yang namanya sepatu dari orang kota, walaupun mereka menyebutnya sudah bekas, sepatu itu masih sangat berfungsi dengan baik untuk di gunakan oleh orang-orang kampong yang nggak mampu seperti keluarga saya dulu.
Jangankan untuk membeli sepatu, buku tulis saja saya memakai bekas pemberian saudaraku . Ah, sebenarnya untuk mengingat semua kekurangan dalam hal ekonomi saat saya masih anak-anak dulu, sungguh bikin hati sesak. Bagaimana bisa saya hidup seperti itu? dari mana sepatu-sepatu dan buku-buku tulis dan bacaan yang saya miliki itu? Yang saya tau Ibu menyediakannya dengan senyum terbuka, “Nak..sepatu ini masih bagus. Muat nggak sama kamu?”. “Nak..buku tulis ini baru sedikit yang di pakai..masih bisa di tulis nih”.

Sampai saya kelas 2 SMP, saya masih menggunakan salah satu sepatu ‘bekas’ untuk di pakai ke sekolah yang jaraknya lebih dari 7km, yang kadang naik sepeda kadang jalan kaki. Memang sih, saya pernah membeli sepatu baru waktu kelas 5 SD, tapi sepatu baru itu yang seharga Rp. 7.500,- saat itu, kualitasnya kurang bagus jadi cepet rusak, belum lagi harganya yang lumayan mahal untuk kantong ibu saya. Jadi, saya membeli sepatu itu sisa uang bayaran sekolah dari beasiswa yang saya dapatkan.


Kelas 3 SMP, saya nggak mungkin lagi berharap untuk mendapatkan sepatu ‘bekas’ dari saudara jauh saya itu. Saya udah mulai merasa malu. Selama di SMP juga saya mendapatkan beasiswa, masih dengan alasan yang sama, sisa dari beasiswa yang saya gunakan untuk semua keperluan administrasi sekolah saya tabung. Sebagai hadiah juga, karena dari kelas 1-3 SMP saya selalu mendapatkan ranking pertama di kelas, sayapun dapat kiriman transfer uang lebih dari tanteku. Dan uang itu sebagian saya gunakan untuk membeli sepatu baru, karena sepatu ‘bekas’ yang saya pakai dari SD sampai kelas 2 SMP, benar-benar sudah mau rusak. Bangga-nya saya ketika teman-teman memuji sepatu baruku itu. Sepatu yang baru saya beli itu memang keluaran terbaru, saya sengaja membeli dengan merek lumayan di kenal dengan supaya nggak cepet rusak. Tujuanya supaya awet, karena saya sadar untuk membeli sepatu baru itu nggak gampang.

Dan sepatu baru itu saya pakai sampai kelas 2 SMA, tapi selama di SMP karena letak sekolahan saya itu jauh dari rumah, alat transportasi ke sekolah menggunakan sepeda. Di kala hujan, kami terpaksa tidak menggunakan sepeda tapi menunggu kendaraan yang lewat untuk ‘mengangkut’ kami semua ke sekolah. Ini sering terjadi, dan pulangnya jika kami tak mendapatkan kendaraan terpaksa berjalan kaki. Alhasil, sepatu sebagus apapun jika di pakai berjalan kaki dengan kondisi jalan yang tidak bagus, pastinya cepat rusak juga.
Yang membuat saya sedih adalah ketika sudah lulus SMP, dan akan memasuki SMA. Sepatu saya ternyata sudah mulai bermasalah karena keseringan di pakai untuk berjalan kaki kesana kemari dan ikut kegiatan di sekolah, melewati jalanan kampong yang becek dan berdebu.  Saya masih ingat, waktu pertama kali daftar masuk SMA, demi sepatu yang mulai rusak, saya terpaksa menyimpan sepatu lama saya itu dirumah dan terpaksa mendaftar ke SMA dengan menggunakan sandal jepit. Karena saya nggak mungkin membeli sepatu baru dan yang menyedihkannya itu saya nggak punya alas kaki yang lain. 

Keperluan untuk biaya masuk SMA lebih penting, seragam dan hal-hal lainnya. Saya pernah di tegur oleh panitia penerimaan siswa baru. Di sekolah itu tidak boleh menggunakan sandal jepit, saya tidak punya alasan lain, “sepatu saya udah mau rusak pak”. Hidup kekurangan itu memang nggak enak, saya hanya punya sandal jepit dirumah. Keadaan itu sempat membuat drop, sebagai remaja perempuan pastinya saya minder. Tapi saya nggak perduli. Karena saya berfikir, nggak penting saya ke sekolah pakai apa, sepatu atau sandal jepit. Yang penting saya di terima dulu di SMA tersebut, karena kalau saya masuk SMA lain, biaya masuknya lebih besar. Masalah sepatu, mudah-mudahan ada gantinya. Tapi nyatanya, saya nggak kebeli sepatu lagi. Terpaksa saya pakai sepatu butut yang sudah hampir lepas bagian bawahnya itu. Untungnya ada lem power glue yang bisa merekatkan lagi sepatu rusak yang hampir lepas itu (bukan iklan). Jadinya sepatu itu bisa bertahan sampai semester pertama kelas 2 SMA. Yaa..walaupun selama saya sekolah itu, saya harus berhati-hati supaya lem sepatunya nggak lepas waktu saya mengejar bis untuk berangkat ke sekolah atau di saat pelajaran olah raga. Ada sih beberapa teman yang prihatin melihat saya, Cuma saya lihat mereka hanya diam, takut menyinggung dan membuat sedih perasaan saya. Di SMA juga saya mendapat beasiswa, tapi uang yang saya dapat itu lebih habis untuk keperluan membeli buku pelajaran sekolah dan biaya transportasi.
Hm.. ternyata bener-bener nggak enak yah menjadi orang miskin itu, jangankan untuk membeli sepatu, mikir biaya sekolah aja kembang kempis. Jangankan untuk membeli sepatu, mikir untuk ongkos sehari-sehari aja rasanya berat.

Dan Alhamdulillah, pengalaman dengan sepatu itu bikin saya mikir sekarang. Walaupun saya mampu untuk membeli sepatu bermerek dan bagus dengan gaji hasil kerja saya selama ini, tapi itu nggak bikin saya ‘dendam’ dengan membeli sepatu atau sandal baru yang bagus-bagus. Saya menjadi terbiasa untuk mengawetkan sepatu yang saya punya, buktinya.. saya sekarang masih menggunakan sepatu yang sama dari tahun 2009 lalu untuk berkerja. Entah kenapa..perasaan untuk membeli sepatu itu selalu tertahan,selalu ada perasaan untuk nggak memboroskan membeli barang yang kemungkinan hanya memenuhi lemari saja. Karena buat saya, sepatu itu akan bermanfaat dengan baik jika kita menggunakannya dengan tepat, bukan untuk pamer.

3 comments:

Terima Kasih - @melfeyadin