Tuesday 30 August 2022

Makna Merdeka Bagi Orang Yang Pernah Mengalami Kusta

Di negara kita Indonesia, ternyata Kusta masih menjadi masalah serius yang harus ditangani bersama. Kalau menurut data dari WHO, Indonesia menjadi negara ketiga dengan pasien kusta terbanyak setelah India dan Brazil. Dan ini menimbulkan masalah yang beragam, nggak cuma di kesehatan saja, tapi meluas ke masalah lainnya, seperti sosial, ekonomi, dan budaya. Pasien kusta masing sering mengalami stigma buruk dan diskriminasi dari masyarakat umum.

Oleh karenanya, Kantor Berita Radio-KBR kembali menggelar talkshow atau diskusi ruang publik yang disiarkan di 150 jaringan radio di Indonesia, tentang betapa pentingnya kita mengetahui dan memahami apa itu penyakit Kusta atau sering juga disebut sebagai penyakit Lepra, dengan tema Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) melalui channel Youtube Berita KBR 24 Agustus 2022 lalu, dengan menghadirkan dua narasumber, Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) yang juga seorang penyandang tunanetra, dan Mbak Marsina Dhede (OYPMK - Aktivitas Wanita dan Difabel).

Melalui Mimi Institut, Dr Mimi ingin membiasakan masyarakat dapat berinteraksi dengan teman-teman penyandang disabilitas, serta mengedukasi dengan seminar-seminar, kegiatan publikasi untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat, kepada penyandang disabilitas maupun OYPMK.

Nah, biasanya menurut Dr Mimi, banyak OYPMK datang ke lembaga untuk melakukan konseling tentang penyakit yang mereka derita. Pasien Kusta biasanya langsung syok ketika mendapatkan diagnosa dengan apa yang mereka alami, dan langsung punya stigma buruk tentang diri mereka sendiri, merasa nggak berguna lagi, nggak bisa ngapa-ngapain lagi, dan sering juga menjadi overthinking terhadap pandangan masyarakat terhadap diri mereka sendiri, penyandang disabilitas ataupun OYPMK.

Mereka juga sering merasakan kecemasan berlebihan, khawatir dengan masa depan yang seakan-akan berhenti, runtuh seketika. Perasaan ini nggak bagi OYPMK saja sebenarnya, tapi untuk mereka yang memiliki penyakit-penyakit serius lainnya juga. Perasaan-perasaan inilah yang menyebabkan gangguan kejiwaan bagi penderita Kusta. Jika tak ditanggapi dan diobati dengan serius, tentu akan berbahaya untuk diri sendiri ataupun orang lain.

Dan selama ini, sebenarnya kita ataupun masyarakat itu sendiri masih belum memahami dan mengetahui dengan betul apa itu Kusta. Secara sadar sebagai masyarakat awam, kita juga sering merasa takut tertular oleh penyakit Kusta. Sehingga pemahaman yang keliru inilah yang menjadi penyebab terjadinya ejekan, stigma buruk kepada mereka. Bagi OYPMK sendiri juga sering mengira jika mereka berada di luar rumah dan berinteraksi dengan warga akan menularkan penyakit ke lainnya.

Padahal penyakit Kusta itu tidak mudah menular, kecuali pasien dan orang di sekitarnya melakukan interaksi lebih dari 24 jam selama seminggu berturut-turut.

diskusi ruang publik KBR

Kalau menurut Mbak Dhede yang pernah mengalami Kusta saat masih usia 8 tahun, selama dua tahun dia selalu minum obat, dan setiap hari Jumat disuntik obat untuk penyembuhan dari Puskes. Ia sendiri yang meminta diantarkan ke Puskes untuk diperiksa karena pernah mendengar tentang Kusta di Radio dengan ciri-ciri yang dialaminya.

Tentu di awal-awal mengalami Kusta dan difabel, beliau sering mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, sering dibully oleh teman-temannya, dan sering pula ditolak oleh warga karena dianggap aneh dan penyakitan.

Hal-hal seperti itulah yang membuat OYPMK merasa tidak punya kebebasan dalam bermasyarakat, karena keterbatasan dan stigma buruk yang didapat. Padahal dukungan moril dari keluarga dan orang sekitar itu penting untuk mendorong semangat dan kesembuhan pasien.

Seperti yang dikatakan oleh Dr. Mimi, didukung dan diterima pertama kali oleh keluarga adalah poin yang paling mendasar atau utama untuk pasien punya kepercayaan diri ketika keluar rumah. Jika di dalam rumah saja kita sudah dijauhi, bagaimana bila justru di luar rumah. Karena saat di luar rumah, pandangan orang itu lebih luas, dan biasanya sering memandang aneh, sulit untuk menerima disabilitas atau penderita Kusta.

Dari diskusi Ruang Publik KBR ini kita jadi tau, apa sebenarnya yang kita perlu dan lakukan sebagai masyarakat maupun penyandang disabilitas ataupun OYPMK itu sendiri. Yaitu saling rangkul, dalam artian saling dukung untuk kesembuhan dan memberikan edukasi mengenai penyakit tersebut.

Untuk pengobatannya sendiri Dr Mimi dan Mbak Dhede menyarankan untuk mendatangi pusat kesehatan (Puskes), karena di puskes ada pengobatan gratis dan sebagaian teman-teman OYPMK dan dari dunia kesehatan yang akan memberikan penjelasan dan edukasi mengenai Kusta.

Lalu bagaimana cara OYPMK ini memaknai kemerdekaan?

Dengan kendala dan masalah yang dirasakan oleh OYPMK ataupun teman-teman disabilitas ini, ada implementasi yang ingin dirasakan, dalam artian, penyandang disabilitas maupun orang yang pernah mengalami Kusta ini ingin juga punya kebebasan, bebas berinteraksi dengan masyarakat, bebas menggunakan fasilitas negara, bebas bersosialisasi dan lainnya.

Dan berharap, merdeka itu tidak lagi menerima stigma-stigma negatif/buruk dan bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat tanpa rasa khawatir berlebih.

Dari telpon interaktif yang dilakukan KBR dengan salah satu pendengar, Irwan di Makassar, dia berharap, pemerintah punya pendekatan persuasif untuk penderita Kusta, agar mereka bisa kembali ke masyarakat dengan mudah.

Pun begitu yang diharapkan oleh Mbak Dhede, masyarakat juga dapat menerima penderita kusta untuk bersosialisasi, berharap juga negara punya affirmative action untuk penderita kusta maupun penyandang disabilitas.

Sementara Dr Mimi juga menyarankan kepada pasien kusta dan difabel, jika ingin merdeka, kita juga harus mau dan berani bersuara. Jika dijauhi oleh masyarakat kita yang harus mendekati dan memberikan edukasi ke masyarakat itu sendiri, karena kita nggak bisa memaksa orang lain untuk memahami dengan apa yang kita alami. 

Teman-teman OYPMK atau disabilitas bisa saling melakukan perjuangan sendiri untuk bekerja, menuntut ilmu dan lainnya. Jikapun mengalai pelanggaran, atau hak-hak yang nggak terpenuhi, teman-teman bisa menghubungi lembaga-lembaga sosial atau organisasi yang menangani yang berkaitan dengan penyakit-penyakit tertentu atau penyandang disabilitas itu sendiri.

Terakhir, Dr Mimi berharap, stigma-stigma negatif tentang penyakit dan penderita kusta tidak lagi diberikan untuk mereka. Kita pun sebagai masyarakat bisa ikut belajar dan mencari tahu lebih banyak apa itu Kusta, penanganan, cara menanggulangi, penyebab dan pengobatannya melalui internet atau ke pusat kesehatan terdekat. 

Dan begitu pula yang disampaikan oleh Mbak Dhede, untuk merdeka, kita bisa memulainya dari diri sendiri. Ajak orang-orang di sekitar untuk paham dan mencari tahu tentang penyakit-penyakit tertentu yang dianggap mudah menular. Karena dengan begitu, kita bisa keluar dari himpitan pikiran yang menggangu psikologis dan membuat kita tidak merdeka dalam melihat sesuatu.

1 comment:

  1. Bagi penderita kusta yang sering dikucilkan karena penyakitnya memang butuh dukungan dari orang sekitar untuk sembuh. Perlu menghilangkan stigma negatif tentang penyakit ini dalam masyarakat. Terima kasih sharingnya!

    ReplyDelete

Terima Kasih - @melfeyadin