Monday 16 November 2020

Saya Melihat Senja Pada Pendidikan di Indonesia

Selama masa pandemi Covid-19 yang terjadi sekarang ini, banyak hal yang sudah berubah dalam kehidupan kita. Cara kita menjalani kehidupan, dari cara menjaga dan harus taat pada protokol kesehatan demi menghindari terpaparnya virus, melakukan pekerjaan kantoran yang sebagian harus dilakukan dari rumah, hingga proses belajar mengajar anak-anak sekolah di semua tingkatan diharuskan dari rumah, pun dalam cara berpikir kita menghadapi banyak kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Dan kita nggak pernah tau kapan semua ini bisa kembali seperti semula, tanpa lagi dihinggapi rasa khawatir berlebih oleh virus Corona. 

gigi-hiu-kelumbayan

Dan selama kita stay at home, kerja, belajar dan sekolah atau kegiatan lain dari rumah, kita jadi tidak banyak mengetahui perkembangan dan ada apa saja di luaran sana, jika saja tak membaca berita dari internet, tv, maupun media lainnya. 

Namun, saat berhasil memberanikan diri keluar dan melakukan aktivitas di luar rumah, kita seakan sedang berada di dunia lain. Memandang dunia dengan perasaan yang berbeda. Seperti yang saya rasakan beberapa waktu lalu.

Selama beberapa bulan sejak pemerintah mengajurkan masyarakat untuk di rumah saja, saya pun fokus hanya di rumah, bekerja dan tidak kemana-mana. Bosan? Sudah pasti, rasanya kaki sudah ingin jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat wisata atau bertemu orang-orang. Apalagi saat hari raya Idul Fitri pun tidak bisa mudik bertemu orang tua. Perasaan gelisah dan ingin marah, tapi bingung perasaan itu ingin ditunjukkan ke siapa. 

Karena pada akhirnya kita harus bisa menerima kenyataan yang ada di depan mata bahwa memang pandemi ini melatih sabar dan membuat cara berpikir kita lebih terbuka dan luas lagi. Dan semakin sadar bahwa saat ini kita sedang tidak baik-baik saja. Dan menyakini bahwa sila Pancasila kelima belum benar-benar ada di negara kita, Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan.

Harap Senja di Kelumbayan

Pada awal Oktober lalu, saya menerima tawaran seorang teman, untuk menemani dia bekerja mengunjungi Pantai Gigi Hiu yang ada di Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Guna memotret Pantai bebatuan yang memiliki keindahan bukit-batu karang yang menjulang tinggi menyerupai gigi Hiu dan hempasan kuat ombak laut samudera dan juga keindahan senja yang mendebarkan hati.

Tentu saja kita tidak bisa berdiam diri terus, agar roda ekonomi, pariwisata dan aktivitas di bidang lainnya harus terus berjalan. Karena 'kita butuh makan' begitu istilah orang-orang. Walaupun belum sepenuhnya dibuka untuk umum karena masih pandemi, namun Pantai Gigi Hiu ini sudah patuh dengan protokol kesehatan dengan memberlakukan pembatasan jumlah dan jam berkunjung agar tetap bisa dinikmati oleh wisatawan.

Butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk bisa sampai di Gigi Hiu dari Kota Bandar Lampung. Sepanjang jalan menuju ke sana, kita disuguhi pemandangan alam yang indah, melewati pantai-pantai yang ada di Teluk dan Pesisir, hutan, kebun-kebun warga, turun naik bukit dengan jalanan yang masih butuh banyak perbaikan dan pembangunan agar tempat wisata yang digemari traveler ini bisa diakses oleh semua kalangan. 

pekon-penyandingan-kelumbayan

Karena sampai di Kelumbayan hari sudah malam dan jalanan menuju ke lokasi Gigi Hiu gelap melewati hutan lebat, kami terpaksa menginap di salah satu rumah warga, yang ada di salah satu desa tua di Kelumbayan, namanya Pekon Penyandingan, yang rumah-rumahnya masih tradisional khas adat Lampung Pesisir. 

pekon-penyandingan-kelumbayan

Berada di pelosok desa yang tidak ada jaringan telpon apalagi internet itu sesungguhnya membuat hati dan pikiran menjadi tenang, damai, karena sejenak bisa menghindari hiruk pikuk dari notifikasi sosial media dan berita-berita yang menggemparkan di luar sana dari internet yang sebagian tidak kita dapatkan dari media televisi. Yup, beruntungnya di Kelumbayan sudah dialiri listrik, jadi warga di sana masih ada hiburan untuk menonton televisi dengan bantuan parabola.

Lalu, bagaimana masyarakat di pelosok desa seperti di Pekon Penyandingan yang ada Kelumbayan ini atau desa-desa pelosok lain yang belum tersentuh jaringan telpon seluler dan internet ini berkomunikasi dengan sanak saudara yang ada ada di luar kampung? Dan bagaimana pula anak-anak di sana belajar selama pandemi sekarang ini?

Anak-anak di Kelumbayan

Ketika kita mengunjungi tempat wisata, hal pertama yang ingin kita lakukan biasanya adalah update di sosial media dan memberikan label atau tag lokasi. Karena tidak ada internet, selama di Kelumbayan kami hanya menikmati berbincang-bincang dengan masyarakat setempat dan mencari tau kegiatan sehari-hari mereka di sana seperti apa.

Saya jadi ingat pertanyaan seorang politikus ketika mengomentari teknologi internet, "Internet Cepat Buat Apa?" Katanya, saya lupa siapa orangnya. Ternyata ketika kita dihadapkan dengan pandemi saat ini dan mengharuskan kita semuanya melakukan kegiatan serba online itu sangat - sangat membutuhkan internet cepat, terutama untuk pendidikan.

Bayangkan setiap harinya anak-anak menerima dan mengerjakan laporan pelajaran sekolah melalui smartphone atau laptop dan harus dengan internet. Lalu bayangkan anak-anak di desa pelosok yang saya datangi itu harus belajar daring. Sementara di sana sama sekali tak tersedia jaringan internet.

Bagaimana? 

Jujur, hati saya sakit melihatnya. Melihat anak-anak di sana harus menempuh perjalanan jauh ke tengah hutan, naik-naik gunung hanya untuk mencari dan mendapatkan spot atau lokasi yang terpancar sinyal internet  dari desa tetangga, hanya untuk bisa 'sekolah' atau belajar daring. Ketika dapat spot internet pun adanya berpanas-panasan di bawah terik matahari, di pinggir jurang, jauh dari desa.

Di kota-kota besar atau di daerah lainnya yang mudah mendapatkan fasilitas pendidikan, kita mendapatkan bantuan kuota internet dari pemerintah melimpah dengan jaringan internet yang lancar dan stabil. Sedangkan di desa-desa yang semuanya terbatasnya jangankan mendapatkan bantuan kuota, mendapatkan sinyal jaringan pun mereka harus menempuh lokasi yang jauh.

Salah satu anak di sana mengatakan, bahwa belajar daring ini sangat sulit mereka lakukan di tengah keterbatasan sinyal internet. Apalagi harus melakukan video call dengan gurunya yang datang dari luar desa. 

sekolah-daring-selama-pandemi

Kebijakan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengharuskan sekolah-sekolah belajar daring ini menurut saya harus ditelaah lagi dan evaluasi lagi. Karena nggak semua daerah, sekolah anak-anak dan gurunya siap dengan kebijakan ini. Maksud saya, harusnya kita bisa melihat lagi proposinya. Apakah semuanya harus melakukan daring di tengah kondisi pandemi sekarang ini. Karena daerah-daerah di Indonesia tidak bisa disama ratakan bisa menerima peraturan dengan sistem pendidikan saat ini.

Percayalah, pemerintah harus mendengar dan melihat sendiri bagaimana anak-anak sekolah ini tidak bisa belajar dengan nyaman selama pandemi ini. Para orang tua yang tidak bisa setiap saat bisa mendampingi mereka belajar karena kondisi ekonomi setiap orang pun berbeda. Ada banyak prioritas yang harus mereka lakukan untuk bertahan hidup dari sekedar memantau anak-anak mereka sekolah di rumah.

Walau kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya keadaan akibat pandemi ini, namun tentu kita bisa melihat lagi bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini, terutama untuk anak-anak yang masih harus belajar dari rumah. Mereka mulai bosan dan mulai lelah. Jika seperti itu apa pelajaran yang diberikan gurunya bisa dicerna dengan baik? 

Harusnya bisa diberlakukan pengecualian untuk sekolah-sekolah yang ada di pelosok-pelosok seperti di Pekon Penyandingan itu. Walaupun ya, jaringan internet untuk pendidikan anak-anak sekolah ini tentu saja punya dua sisi yang harus kita pahami lagi.

Balik ke pertanyaan, internet cepat buat apa?

Sisi positifnya, internet bisa dimanfaatkan untuk mengakses banyak sekali pengetahuan umum yang bisa digunakan anak-anak untuk mendukung pembelajaran mereka di sekolah maupun di kehidupan sehari-hari. Internet bisa membuka lebih banyak wawasan anak-anak terhadap dunia luar di segala bidang yang mereka minati.

Tentu saja, internet juga punya dampak negatif pada anak-anak terutama pada pendidikan. Selama ini mungkin anak-anak yang ada di pelosok akan tetap bisa fokus terhadap pelajaran di sekolah, namun bila teknologi internet sudah bisa diakses sampai ke pelosok-pelosok, mungkin saja bisa menjadi masalah baru bila saja tidak dibatasi penggunaannya. Oleh karenanya, untuk kemajuan pendidikan anak-anak Indonesia, kita pun harus giat pula memberikan pemahaman dan edukasi mengenai internet sehat, bijak bersosial media dan memanfaatkan teknologi internet dengan sebaik-baiknya.

Seandainya Saya Menjadi Pemimpin Indonesia 

Melihat sendiri bagaimana susahnya anak-anak sekolah mengakses pelajaran sekolah karena internet yang terbatas. Bukan hanya pemerintah saja yang harus bertanggung jawab untuk mengendalikan dan memberikan kebijakan untuk membuat aturan, bukan saja untuk yang masih sekolah, tapi ke semua aturan yang dilakukan masyarakat luas.

Saya jadi punya satu keinginan.

Seandainya saya menjadi pemimpin Indonesia, ada satu hal yang ingin saya lakukan dalam dunia pendidikan. Terutama untuk anak-anak di daerah pelosok desa yang jauh dan terbatas fasilitas pendidikannya. 

Kedepannya mungkin kita akan terus beradaptasi akibat pandemi dan tak bisa menghindari kemajuan teknologi, tapi sepertinya kemajuan teknologi ini hanya bisa dinikmati masyarakat perkotaan saja. Oleh karenanya, seandainya saya menjadi pemimpin Indonesia.  Saya akan mengirimkan influencer, selebgram, youtuber, tiktoker dan semua mereka yang eksis di sosial media untuk datang ke daerah-daerah.

anak-sekolah-daring

Jika biasanya mereka didatangkan untuk menumbuhkan dan menarik minat wisatawan untuk datang ke tempat-tempat wisata di suatu daerah lalu mempublikasikan tempat-tempat tersebut ke channel mereka. Kali ini jika saya menjadi pemimpin Indonesia, saya akan mengirimkan mereka untuk membuat pemetaan terhadap teknologi internet untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Apakah di daerah tersebut sudah layak dan siap dengan sistem pendidikan yang sudah ada atau apakah belum?

Mengapa butuh influencer? Agar semua pihak dapat bekerjasama, memberikan laporan dan hasilnya secara jujur terhadap saya sebagai pemimpin. Sehingga pemerintah bisa bertindak, bagaimana seharusnya membuat keputusan yang adil untuk pendidikan di Indonesia. Peran generasi muda ini sangat penting dan mendapat pendidikan juga jauh lebih penting. Karena kita tau masa depan bangsa ada di tangan pemuda-pemuda Indonesia. Jika anak-anak sekolah dan pemuda-nya tak bisa belajar karena tak bisa mengakses internet, kita pasti akan tertinggal jauh dengan negara lain. Lalu mau jadi apa kita ke depannya? Hanya berputar-putar di situ saja tanpa kemajuan. Kita harus bekerjasama membangun bangsa ini.

Memperbaiki dan menambah jaringan telpon jaringan seluler serta internet untuk kemudahan semua orang dalam berkomunikasi dan mengakses informasi melalui internet untuk menunjang pendidikan demi kemajuan anak-anak Indonesi adalah salah satu yang pertama ingin saya lakukan. Sehingga, semua orang meng-update perkembangan daerahnya masing-masing. Baik dari segi pendidikan ataupun lainnya.

2 comments:

  1. Duh aku ikutan sakit hati bacanya Mel...iya, kalau ngga ada internet bagaimana mereka bisa belajar daring? hiks..

    ReplyDelete

Terima Kasih - @melfeyadin